Melihat dan membaca blog teman-teman saya, saya jadi teringat kesayangan saya saat SMA. Saya pernah membuat blog tetapi dengan malas saya melanjutkan menulis. Padahal saya senang sekali menulis cerita hidup, bagi saya, rentetan kejadian yang saya alami adalah suatu hal yang tak ternilai harganya. Apalagi saat ini sudah hampir 4 bulan saya beradaptasi di Bandung, tinggal sendiri ditemani tugas-tugas yang menumpuk. Bercerita soal Bandung, saya benar-benar tertarik untuk memberi kalian semua cerita tentang kehidupan baru saya ini.
Bandung adalah cita-cita masa lalu saya. Bandung adalah impian yang selalu saya umbar pada teman-teman saya. Bandung adalah motivasi untuk menunjukkan kepada orang tua saya, bahwa saya anak mereka. Jujur saja, saya hanya pernah masuk peringkat 10 besar di SMA sekali, itupun ranking 7! Selain itu? Saya terus-terusan dimarahi karena kemalasan saya yang bikin frustasi dan akhirnya hanya dapat ranking 29 atau 33 di kelas. Masuk ke ITB adalah suatu kebanggaan untuk saya. Walaupun, saya (hanya) diterima di SBM, Sekolah Bisnis yang selalu dikatakan ayah saya “hanya sekolah, bukan fakultas” tapi toh tak ada imbasnya untuk saya, saya justru lebih bangga akan segala yang saya punya sekarang.
Tak banyak yang tahu bahwa SBM bukan sekedar sekolah bisnis dan manajemen baru yang masih merintis koneksi dan mencari nama. Banyak juga yang bilang SBM hanya anak-anak orang kaya berotak kosong. SBM jauh lebih dari itu. Dia mengajari saya tentang bagaimana hidup sebenarnya. Saya dipertemukan dengan orang-orang spesial dan buat saya, mereka samasekali bukan anak-anak orang kaya berotak kosong! Apa yang saya temukan disini adalah anak-anak yang memiliki semangat yang berapi-api untuk menjadi yang terbaik. Mereka punya fighting spirit yang luar biasa dan jujur saja, membuat saya ingin melakukan yang lebih.
Jika disebut anak orang kaya, yes, they do. Tapi saya samasekali bukan orang kaya. Ayah saya hanya seorang Kepala Suku Dinas Pemetaan di Kantor Walikotamadya Jakarta Selatan. Ya, benar! Dia hanya seorang pegawai negri. Untuk masuk di SBM saja, mencari uang 60 juta rupiah ditambah 12 juta untuk semester pertama susahnya bukan main. Maka dari itu saya sadar, saya sungguh anak spesial diantara kumpulan anak-anak orang kaya itu. Untuk saya sekarang, menjadi seorang anak bos telkom atau anak direktur adalah biasa, yang luar biasa adalah saya. Walaupun ayah saya hanya seorang pegawai negri, itu tak pernah melunturkan kecintaan saya padanya. Kebanggaan saya pada ayah saya.
Tapi jujur saya katakan, rasanya sulit sekali menyusup diantara kerumunan anak-anak itu. Menelusup diantara keriuhan harta mereka, yang terkadang membuat saya iri. Semudah itukah mereka membeli sepotong celana jeans dengan harga 1,6 juta? Atau handphone canggih dengan harga selangit? Pertanyaan itu selalu membayangi langkah saya di SBM ini. Saya harus menahan keinginan saya untuk membeli sebuah laptop baru, tas mahal, sepatu, bahkan baju untuk kuliah. Memutar otak bagaimana caranya saya agar mendapatkan apa yang saya mau. Sedangkan mereka? Apa yang susah untuk mereka? Walau begitu saya salut pada mereka, mereka bukan anak sombong dan mereka benar-benar menyenangkan.
Bandung adalah cita-cita masa lalu saya. Bandung adalah impian yang selalu saya umbar pada teman-teman saya. Bandung adalah motivasi untuk menunjukkan kepada orang tua saya, bahwa saya anak mereka. Jujur saja, saya hanya pernah masuk peringkat 10 besar di SMA sekali, itupun ranking 7! Selain itu? Saya terus-terusan dimarahi karena kemalasan saya yang bikin frustasi dan akhirnya hanya dapat ranking 29 atau 33 di kelas. Masuk ke ITB adalah suatu kebanggaan untuk saya. Walaupun, saya (hanya) diterima di SBM, Sekolah Bisnis yang selalu dikatakan ayah saya “hanya sekolah, bukan fakultas” tapi toh tak ada imbasnya untuk saya, saya justru lebih bangga akan segala yang saya punya sekarang.
Tak banyak yang tahu bahwa SBM bukan sekedar sekolah bisnis dan manajemen baru yang masih merintis koneksi dan mencari nama. Banyak juga yang bilang SBM hanya anak-anak orang kaya berotak kosong. SBM jauh lebih dari itu. Dia mengajari saya tentang bagaimana hidup sebenarnya. Saya dipertemukan dengan orang-orang spesial dan buat saya, mereka samasekali bukan anak-anak orang kaya berotak kosong! Apa yang saya temukan disini adalah anak-anak yang memiliki semangat yang berapi-api untuk menjadi yang terbaik. Mereka punya fighting spirit yang luar biasa dan jujur saja, membuat saya ingin melakukan yang lebih.
Jika disebut anak orang kaya, yes, they do. Tapi saya samasekali bukan orang kaya. Ayah saya hanya seorang Kepala Suku Dinas Pemetaan di Kantor Walikotamadya Jakarta Selatan. Ya, benar! Dia hanya seorang pegawai negri. Untuk masuk di SBM saja, mencari uang 60 juta rupiah ditambah 12 juta untuk semester pertama susahnya bukan main. Maka dari itu saya sadar, saya sungguh anak spesial diantara kumpulan anak-anak orang kaya itu. Untuk saya sekarang, menjadi seorang anak bos telkom atau anak direktur adalah biasa, yang luar biasa adalah saya. Walaupun ayah saya hanya seorang pegawai negri, itu tak pernah melunturkan kecintaan saya padanya. Kebanggaan saya pada ayah saya.
Tapi jujur saya katakan, rasanya sulit sekali menyusup diantara kerumunan anak-anak itu. Menelusup diantara keriuhan harta mereka, yang terkadang membuat saya iri. Semudah itukah mereka membeli sepotong celana jeans dengan harga 1,6 juta? Atau handphone canggih dengan harga selangit? Pertanyaan itu selalu membayangi langkah saya di SBM ini. Saya harus menahan keinginan saya untuk membeli sebuah laptop baru, tas mahal, sepatu, bahkan baju untuk kuliah. Memutar otak bagaimana caranya saya agar mendapatkan apa yang saya mau. Sedangkan mereka? Apa yang susah untuk mereka? Walau begitu saya salut pada mereka, mereka bukan anak sombong dan mereka benar-benar menyenangkan.
Cerita tentang seberapa menyenangkan mereka? Akan saya ceritakan di post selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar