Sekarang otak saya mulai bekerja tidak wajar. Apa yang saya inginkan sekarang adalah meminta kembali ‘me time’ saya yang akhir-akhir ini hilang. Saya sadar, waktu untuk menghawatirkan diri sendiri itu penting, sebelum saya menghawatirkan kondisi sahabat-sahabat saya yang sedang depresi. Biasanya mereka datang, lalu bercerita tentang masalahnya masing-masing. Ada yang bercerita tentang wanita impiannya, lelaki pujaannya, ada juga yang datang lalu menangis entah mengapa.
Menjadi seorang yang selalu mendengar kadang rasanya sungguh tidak enak. Kadang saya sendiri lupa kapan harusnya saya memikirkan perasaan saya yang sebenarnya sakit mendengar segudang cerita itu. Kadang juga saya harus memutar otak, bagaimana caranya agar sahabat-saya itu bisa dekat dengan sahabat-saya-yang-satu-lagi, atau saya harus menahan segala rasa yang sebenarnya mengumpat saat sahabat-saya-yang-lainnya bercerita tentang suatu hal.
Bagian terburuk dari semua ini, saya harus tetap tertawa—paling tidak tersenyum—saat sebenarnya mood saya sedang jelek dan saya sedang dalam fase down. Fase dimana saya samasekali tidak berniat untuk mendengar mereka cerita, mengerjakan tugas LPJ, dan dimana saya harus diam padahal saya harus memberi penjelasan. Saya terlalu banyak mendengar, mengetahui, dan mencoba membantu menyelesaikan masalah. Kadang saya terlalu jauh ikut campur, terlalu memaksa kehendak saya, terlalu takut kehilangan mereka, terlalu sok bijak dalam berpendapat, terlalu naif padahal tak tahu apa-apa, terlalu sok tegar padahal saya rapuh.
Disaat seperti ini saya butuh didengar. Saya butuh orang yang saya percaya dan saya nyaman bercerita dengannya. Tapi untuk didengar saja saya tak mampu! Saya terlalu malu untuk bicara pada mereka semua bahwa kadang saya lelah mendengar cerita mereka yang sibuk dengan masalahnya masing-masing. Kadang saya ingin bertanya, apa ada dari mereka yang—paling tidak—berusaha untuk mencari tahu apa perasaan saya? Setiap kali saya bertindak tidak sewajarnya, mungkin saya jutek, marah-marah, atau bahkan diam, apa yang mereka bilang? Mereka hanya protes karena—kata mereka—itu bukan saya. Sedangkal itukah mereka (yang katanya sahabat-sahabat saya) mengetahui saya yang sebenarnya? Apa iya mereka hanya menerima keceriaan saya? Apa mereka hanya mampu untuk mendengar saya tertawa, tapi tidak saat saya menangis?
Tulisan ini saya buat karena ini adalah masa dimana saya sedikit lelah untuk menemukan bahwa keadaan saya saat ini benar-benar menyedihkan. Tanpa mereka sadari, saya selalu menjadi second person, selalu menjadi yang kedua dibanding sahabat-sahabat saya. Mereka selalu lebih dulu terlihat sebelum orang melihat saya. Dari SD saya selalu begitu, tapi bodohnya dulu saya nyaman dengan itu. Sekarang? Mungkin saya harus berdiri sendiri. Mengenalkan nama saya dengan lantang, tanpa embel-embel lain. Saya sangat sayang mereka. Tapi jujur, kadang letih rasanya jika harus terus berjalan satu langkah dibelakangnya.
Untuk informasi, sahabat yang saya sebut diatas, Chaca, Vita, Menik, dan Mitha. Tahu lengkap ceritanya. Jadi saya bukan bermaksud untuk menyinggung mereka, saya hanya mencoba menuliskan apa yang ingin saya tulis. Wajar bukan?
Menjadi seorang yang selalu mendengar kadang rasanya sungguh tidak enak. Kadang saya sendiri lupa kapan harusnya saya memikirkan perasaan saya yang sebenarnya sakit mendengar segudang cerita itu. Kadang juga saya harus memutar otak, bagaimana caranya agar sahabat-saya itu bisa dekat dengan sahabat-saya-yang-satu-lagi, atau saya harus menahan segala rasa yang sebenarnya mengumpat saat sahabat-saya-yang-lainnya bercerita tentang suatu hal.
Bagian terburuk dari semua ini, saya harus tetap tertawa—paling tidak tersenyum—saat sebenarnya mood saya sedang jelek dan saya sedang dalam fase down. Fase dimana saya samasekali tidak berniat untuk mendengar mereka cerita, mengerjakan tugas LPJ, dan dimana saya harus diam padahal saya harus memberi penjelasan. Saya terlalu banyak mendengar, mengetahui, dan mencoba membantu menyelesaikan masalah. Kadang saya terlalu jauh ikut campur, terlalu memaksa kehendak saya, terlalu takut kehilangan mereka, terlalu sok bijak dalam berpendapat, terlalu naif padahal tak tahu apa-apa, terlalu sok tegar padahal saya rapuh.
Disaat seperti ini saya butuh didengar. Saya butuh orang yang saya percaya dan saya nyaman bercerita dengannya. Tapi untuk didengar saja saya tak mampu! Saya terlalu malu untuk bicara pada mereka semua bahwa kadang saya lelah mendengar cerita mereka yang sibuk dengan masalahnya masing-masing. Kadang saya ingin bertanya, apa ada dari mereka yang—paling tidak—berusaha untuk mencari tahu apa perasaan saya? Setiap kali saya bertindak tidak sewajarnya, mungkin saya jutek, marah-marah, atau bahkan diam, apa yang mereka bilang? Mereka hanya protes karena—kata mereka—itu bukan saya. Sedangkal itukah mereka (yang katanya sahabat-sahabat saya) mengetahui saya yang sebenarnya? Apa iya mereka hanya menerima keceriaan saya? Apa mereka hanya mampu untuk mendengar saya tertawa, tapi tidak saat saya menangis?
Tulisan ini saya buat karena ini adalah masa dimana saya sedikit lelah untuk menemukan bahwa keadaan saya saat ini benar-benar menyedihkan. Tanpa mereka sadari, saya selalu menjadi second person, selalu menjadi yang kedua dibanding sahabat-sahabat saya. Mereka selalu lebih dulu terlihat sebelum orang melihat saya. Dari SD saya selalu begitu, tapi bodohnya dulu saya nyaman dengan itu. Sekarang? Mungkin saya harus berdiri sendiri. Mengenalkan nama saya dengan lantang, tanpa embel-embel lain. Saya sangat sayang mereka. Tapi jujur, kadang letih rasanya jika harus terus berjalan satu langkah dibelakangnya.
Untuk informasi, sahabat yang saya sebut diatas, Chaca, Vita, Menik, dan Mitha. Tahu lengkap ceritanya. Jadi saya bukan bermaksud untuk menyinggung mereka, saya hanya mencoba menuliskan apa yang ingin saya tulis. Wajar bukan?
0 komentar:
Posting Komentar